Sunday 14 December 2008

Globalisasi, Demokrasi, dan Tatanan Dunia Posmodern

Globalisasi, Demokrasi, dan Tatanan Dunia Posmodern
Oleh: Insan Rekso Adiwibowo

Bisa dikatakan, globalisasi adalah kata yang banyak didengung-dengungkan; sangat akrab di telinga, tetapi asing dalam makna. Globalisasi merupakan tatanan dunia impian dari demokrasi dan pasar bebas. Held dan McGrew mendefinisikan globalisasi sebagai pelebaran, pendalaman, dan percepatan interkoneksi dunia dalam berbagai aspek kehidupan mulai dari budaya hingga kriminalitas, dari keuangan hingga spiritualitas.1Pelebaran” berarti jangkauan spasial dalam pola relasi yang tidak mengenal batas negara lagi (borderless world). Kata “pendalaman merujuk kepada intensitas dan kualitas relasi antarindividu yang semakin besar. Sedangkan “percepatan” dimaksudkan sebagai kapasitas globalisasi untuk mempersingkat waktu yang dibutuhkan dalam komunikasi maupun informasi.

Manfred B. Steger menerjemahkan globalisasi sebagai “‚... a social condition characterized by the existence of global economic, political, cultural, and environmental interconnections and flows that make many of the currently existing borders and boundaries irrelevant(Steger, 2003)2

Di sini, saya melihat sebuah permasalahan laten yang mengkhawatirkan. Permasalahan ini tidak bisa dilepaskan dari konteks globalisasi sebagai sebuah tesis modernitas yang terus berjalan dan memapankan diri, akan tetapi selalu diiringi dengan antitesis kecenderungan untuk menuju arah berbeda sebagai imbangannya. Ini terlihat pada resistensi di berbagai aspek kehidupan seperti fundamentalisme, etnosentrisme, fanatisme, dan paham kelompok lainnya untuk melawan individualisasi dan nihilisme nilai. Maka, tarik menarik ini membentuk dunia baru yang semakin bertolak arahnya dari cita-cita modern yang memapankan, merasionalisasikan, dan menguniversalkan menuju wacana yang berciri dekadensi, irasionalitas, dan pluralitas, yang disebut posmodern.

Penolakan terhadap globalisasi semakin mencuat terutama dalam karakternya yang paling dominan, yaitu globalisasi ekonomi dengan ditandainya akumulasi kapital, semakin tingginya intensitas arus investasi, keuangan, dan perdagangan global. Di samping karakteristik lain dari globalisasi, seperti kemajuan dan inovasi teknologi, intensitas perpindahan manusia, serta semakin meningkatnya ketergantungan dan keterkaitan tidak hanya antar bangsa tetapi juga antar masyarakat. Dengan globalisasi ekonomi, ketidaksetaraan itu sangat mungkin terjadi, karena globalisasi memunculkan eksploitasi negara maju atas negara yang kurang beruntung.3

Hal ini memungkinkan karena dalam dunia yang semakin global, ketidaksetaraan dalam power (baik itu berupa ilmu pengetahuan, kapital, sumber daya, dan akses informasi) masih tetap terjadi. Sebagaimana yang diungkapkan Lesourne mengenai dampak negatif globalisasi, “Ketika ketidaksetaraan masyarakat industrial tengah mengalami perubahan akan muncul pola-pola ketidaksetaraan yang baru dalam kondisi pekerjaan atau perburuhan dan akses terhadap informasi”.4 Ketidaksetaraan ini akan memunculkan relasi kekuasaan dan pemerintahan yang eksploitatif bagi pihak yang lebih lemah. Ketidaksetaraan ini membawa pada pemberontakan terhadap modernisasi dan individualitas-egotisme yang dibawanya sebagai penyebab dehumanisasi mereka. Akan tetapi penolakan ini bukan hanya satu arah, penolakan ini turut membawa anggota “baik-hati” dari pihak eksploitatif untuk turut pula memberontak terhadap kemapanan seperti pada budaya punk.

Dalam perkembangannya, penolakan ini bahkan lebih implisit dan ideologis. Ini terlihat dari produk seni, budaya, dan ilmu pengetahuan yang berkembang ke arah “berlawanan” dengan cita-cita modernisasi. Ketakutan menuju kehampaan adalah istilah yang saya tawarkan bagi fenomena ini. Masyarakat dunia sadar ada yang salah dengan cita-cita ini; dunia tidak berjalan secara seharusnya untuk alasan yang sulit dijelaskan selain dengan istilah resistensi budaya. Alasannya tidak lain bahwa perkembangan dunia telah melampaui batas kesimbangannya sehingga realitas baru adalah sebuah konsekuensi kausatif.

***

Perkembangan yang terjadi menyiratkan kritik pedas bahwa paham modernisasi yang diangankan akan membentuk masyarakat individual ternyata adalah sebuah angan-angan yang kabur, sama halnya dengan cita-cita masyarakat komunal dalam komunis. Adalah hakikat manusia, menurut Notonegoro untuk menjadi makhluk individu sekaligus makhluk sosial sebagai sebuah relasi yang saling menyeimbangkan. Akan tetapi proses sudah berjalan dan mulai menampakkan bahwa dunia yang diharapkan menuju keteraturan mengarah kepada ketidakberaturan yang membingungkan akibat kenihilian yang berada di depan mata. Kaum yang pesimis, memilih pasrah dan menumpangi ketidakberaturan sebagai sebuah nilai baru yang dapat menelanjangi kemapanan yang didiktekan oleh otoritas. Mereka “berpesta” merayakan dunia yang menuju ketidakberaturan total. Kaum yang optimis, memilih menggali kembali masa lalu dan mencari nilai-nilai lama untuk menyelamatkan dunia dengan nostalgia kejayaan masa lalu. Hal ini bisa dilihat dalam fundamentalisme berbagai agama dan penguatan identitas kesukuan.

Konsekuensi riil dari kondisi ini dalam aspek kemasyarakatan adalah keberagaman yang semakin meluas dan tidak terelakkan. Maka, diskursus mengenai multikulturalisme menjadi hangat kembali demi memperjuangkan kepentingan kelompok-kelompok minoritas. Nilai-nilai digugat, masyarakat baru dibentuk. Demokrasi memungkinkannya terjadi karena kekhawatiran masyarakat yang besar terhadap tirani mayoritas yang mungkin terjadi dalam demokrasi melebihi penolakan terhadap konsep yang ditawarkan kaum minoritas. Pemikiran bahwa suatu saat masing-masing orang akan menjadi minoritas dalam berbagai hal, mulai menjadi lazim kalau tidak termasuk dalam taraf paranoid. Di negara-negara yang sistem hukum dan pemerintahannya belum mapan, anarkisme telah menjadi momok yang terus merongrong. Tocqueville tidak lebih dari 200 tahun yang lalu telah menyadari hal tersebut sebagai dua mata pedang dari demokrasi.5

Di sinilah, konsep demokrasi mengalami batu sandungan yang besar. Anarkisme sudah dikhawatirkan dari jauh hari akan menjadi titik lemah demokrasi. Keraguan akan semakin menggejala ketika pasar bebas yang merupakan senjata terkuatnya mulai tergoncang. Ditambah lagi konsep politik invasif a la Anglo-Saxon dengan teori perdamaian demokratis yang tak lebih dari konsep “kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak nampak”, menambah ketidakpercayaan masyarakat dunia kepada sebuah panduan politis untuk mengatur hidup mereka.

Demokrasi di satu sisi mungkin ramah bagi hubungan negara dengan warga negara. Akan tetapi di sisi lain menjadi kurang ramah terhadap budaya kompetitor walaupun multikulturalisme menjadi jargon yang didengung-dengungkan terus menerus. Terlihat jelas semangat globalisasi sudah berselisih jalan dari semangat ideal demokrasi. Akan tetapi, kekeraskepalaan kampiun demokrasi, Amerika Serikat, telah merusak semangat itu. Keduanya saling dicampuradukkan sedemikian rupa menjadi jus mewah yang sarinya dinikmati mereka selaku penguasa mainstream dan ampasnya dilemparkan kepada negara-negara lain. Tirani mayoritas terletak pada mereka yang mengatasnamakan demokrasi. Anarki terletak pada mereka yang menikmati demokrasi. Dan kesengsaraan terletak pada mereka yang mendambakan demokrasi. Mungkinkah menyelamatkan demokrasi untuk dunia yang sudah terlanjur berubah? Ataukah kita memerlukan ideologi lain?

***

1 D. Held & A. McGrew, Global Transformation: Politics, Economics and Culture, University Press, Stanford, 1999, hal.7.

2 Steger, Manfred B. Globalization a Very Short Introduction, Oxford: Oxford University Press, 2003.

3 Kaplinsky & Morris, A Handbook for Value Chain Research, p. 3-10.

4 Jacques Lesourne dalam Y. Brunsvick & A. Danzin. Lahirnya Sebuah Peradaban: Goncangan Globalisasi, diterjemahkan oleh Penerbit Kanisius, Yogyakarta, Kanisius, 2005, p. 20.

5 D’Tocqueville, Alexis. Tentang Revolusi, Demokrasi, dan Masyarakat (terj. Hawe Setiawan ). 2005. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.


Sebuah Retrospeksi: Kesetaraan dan Kebebasan dalam Budaya Anglo-Amerika

Sebuah Retrospeksi: Kesetaraan dan Kebebasan dalam Budaya Anglo-Amerika
Oleh: Insan Rekso Adiwibowo

Demokrasi secara tradisional telah ditemui pada masyarakat Sparta di Yunani ribuan tahun yang lalu. Akan tetapi, demokrasi modern yang konsepnya digunkan sampai sekarang dibangun pada abad ke-18 oleh peradaban-peradaban besar Eropa (Franko-Jerman, Anglo-Saxon, dan diikuti turunannya Anglo-Amerika). Walaupun secara teori dirumuskan secara intens oleh pemikir-pemikir Franko-Jerman akan tetapi pengaplikasian yang sangat natural dan terintegrasi secara baik pada waktu itu hanya bisa ditemukan dalam masyarakat Anglo-Amerika. Masyarakat ini, dalam “Dunia Baru” yang penuh tantangan, membangun demokrasi dengan sendirinya dalam struktur yang memasyarakat.

Saya harus menahan diri untuk tidak berbicara panjang lebar mengenai hal ini, dan memilih menyarikan fenomena yang ditangkap oleh Alexis de Tocqueville (1805-1859) dari pelaksanaan demokrasi Amerika yang membuatnya bebeda dengan demokrasi Eropa yaitu, fenomena kesetaraan (equality) yang berkolaborasi dengan kebebasan (freedom).1

Dalam satu hal, menurut Tocqueville, berbeda dengan di Eropa yang aristokrat, posisi individu di Amerika satu dengan lainnya adalah sama. Karena tidak ada lagi yang mampu berkuasa sebagaimana kaum aristokrat di tanah asal mereka, kebutuhan akan kekuasaan negara turut meningkat. Negara, atau pemerintah, yang merupakan representasi dari mayoritas akan menjadi sangat dominan dan dikhawatirkan cenderung menumbuhkan bentuk tirani baru, yaitu tirani mayoritas.

Dalam hal lain, sistem persamaan dalam konteks masyarakat komersial cenderung membuat individu hanya mencari kebahagiaan sesaat, berjuang untuk menampilkan diri sendiri untuk selanjutnya mencari keuntungan bagi dirinya. Masyarakat akan berisi manusia-manusia yang terlalu cepat puas, tanpa keagungan, keberanian dan heroisme, serta tanpa hasrat mencari keagungan bagi negerinya. Yang penting adalah perdamaian, kesejahteraan, dan sebuah situasi di mana anggota-anggota masyarakat dapat bekerja dengan tenang untuk mencari hidup dan kebahagiaan.

Demokrasi, walaupun telah menjadi gejala universal, tetaplah pedang bermata dua. Tetapi bagi Tocqueville, keunikan dan kekuatan demokrasi di Amerika adalah karena di negeri baru itu, sisi negatif dari proses persamaan tersebut dapat dihaluskan oleh tiga faktor: geografi, lembaga politik dan pemerintahan, serta kebudayaan dan adat-istiadat lokal yang berjalan secara harmonis dengan demokrasi.2 Kombinasi ketiga faktor inilah yang tidak bisa dimungkinkan di Eropa yang juga mengalami proses industrialisasi dan komersialisasi.

Kesetaraan dan kebebasan yang dianut penduduk Amerika adalah langkah untuk menjamin perjuangan mereka dalam memenuhi tantangan hidup, dan oleh karenanya mereka lebih tertarik pada hal-hal yang bersifat praktis daripada mencari sesuatu yang abstrak. Momentum ini membentuk ciri khas budaya pragmatisme Amerika yang sejalan dengan demokrasi liberal yang dianutnya.

Pandangan demokrasi kemudian mulai menyebar dan menjadi gejala umum dalam perkembangan selanjutnya diiringi dengan penyebaran paham komunisme yang berkembang pesat di Rusia. Demokrasi menjadi sebuah tatanan yang terus berkali-kali mengalami proses transformasi dan mempunyai wujud yang berbeda-beda untuk masing-masing negara dan masih belum berhenti. Akan tetapi, akankah demokrasi seperti ideologi-ideologi lainnya akan kehilangan zamannya?

***

1 D’Tocqueville, Alexis. Democracy in America (terj. Henry Reeve). 1954. New York: 1954.

2 Akan tetapi kekhawatiran Tocqueville terwujud tidak kurang dua tahun setelah kematiannya dengan meletusnya Perang Saudara di Amerika Serikat. Multikulturalisme yang seharusnya menjadi keharusan dari konsep “kesetaraan” dan “kebebasan” mengalami perbenturan dengan konsep hak milik a la feodalisme yang masih terwariskan.

Saturday 6 December 2008

Kekerasan Massa, Federalisasi Hukum, dan Kontrol Pergerakan Massa di Indonesia

Kekerasan Massa, Federalisasi Hukum, dan Kontrol Pergerakan Massa di Indonesia1

Oleh: Insan Rekso Adiwibowo2

Permasalahan kekerasan di Indonesia, sebagian besar bisa dikatakan merupakan lubang kosong yang sengaja diciptakan dalam hukum demi kepentingan politik. “Lubang kosong” ini bisa disebut sebagai pengesahan kekerasan massa oleh rezim berkuasa secara implisit, seperti diskriminasi pada etnis Tionghoa di era Orde Baru.

Dalam perjalanan sejarahnya, bahkan “lubang kosong” ini ditunggangi oleh berbagai kepentingan politik, utamanya pada pemerintahan kolonial dan Orde Baru, walaupun tidak menutup kemungkinan pada periode-periode lainnya terjadi situasi yang tidak kalah pentingnya. Adalah penting untuk mengamati bahwa pluralisme hukum memang menjadi perwujudan kesetengahhatian dalam menegakkan supremasi hukum, akan tetapi di sisi lain, perlukah hukum yang universal bagi ratusan sistem adat Indonesia yang telah berlangsung ratusan tahun?

Mungkin untuk permasalahan ini, kita perlu lebih dari sekedar otonomi. Senada dengan Johan Galtung, saya setuju bahwa federalisme ada baiknya ditetapkan di Indonesia.3 Untuk banyak hal, penerapan otonomi hukum secara federalistik memberikan ruang yang lebih bebas bagi masyarakat daerah untuk mengeksplorasi nilai-nilainya, sekaligus di sisi lain secara sadar atau mau tidak mau mengikuti standar nilai negara sebagai landasannya.

Agaknya yang lebih perlu diuniversalkan bukanlah bagaimana menghukum kekerasan itu, akan tetapi bagaimana mentransformasikan konflik agar tidak berbuah kekerasan. Dengan kondisi pendeknya “tangan hukum” yang bisa diandalkan dewasa ini, penerapan hukum secara federalistik, secara optimis bisa dikatakan, menjadi sarana yang baik untuk menurutsertakan masyarakat dalam penegakan supremasi hukum, karena secara demokratis rakyat daerah menjadi lebih berkekuatan untuk mengontrol masyarakat. Hal itu akan membuat masyarakat mau tidak mau harus dewasa dalam bersikap dan memuluskan transformasi konflik dengan cara-cara damai. Potensi itu ada, tinggal bagaimana struktur membantu proses tersebut.

Akan tetapi, penerapan konsep federalisasi di sini bukan tanpa kritik. Seperti yang dikatakan Tocqueville4 bahwa bagaimanapun, demokrasi tetap seperti pedang bermata dua. Berlebihan di satu sisi dapat membuahkan tirani mayoritas, berlebihan di sisi lain dapat mengakibatkan anarki. Federalisme yang terlalu dini—untuk masyarakat yang belum siap—tetap membuahkan rasa was-was yang beralasan. Pengikutsertaan masyarakat dalam proses, sehingga hukum menjadi bisa dimengerti sebagai bukan hanya hitam di atas putih melainkan membawa sebuah sistem nilai dan norma yang ditegakkan sesuai semangat nilai/norma tersebut walaupun tidak ada tulisan yang mengikatnya, agaknya bisa dijadikan sebagai salah satu hal yang mesti diperhatikan. Pergerakan massa yang masih berjalan dominan di Indonesia mesti diakomodir untuk diarahkan dalam format transformasi konflik yang berbudaya.***



1 Disampaikan sebagai pembahasan artikel dari Robert Cribb, Pluralisme hukum, desentralisasi, dan akar kekerasan di Indonesia. Untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Pendidikan Pancasila dengan Dosen Pengampu, Bpk. Arqom Kuswanjono.

2 Mahasiswa Psikologi UGM, pemerhati politik dan buudaya.

3 Ditulis dalam berbagai artikelnya tentang kekerasan di Indonesia. Lihat http://www.cmdd.org/index.html

4 Alexis de Tocqueville, politisi sekaligus sosiolog terkemuka abad ke-18. Disebut-sebut sebagai ilmuwan demokrasi terbesar pertama.