Sunday 14 December 2008

Sebuah Retrospeksi: Kesetaraan dan Kebebasan dalam Budaya Anglo-Amerika

Sebuah Retrospeksi: Kesetaraan dan Kebebasan dalam Budaya Anglo-Amerika
Oleh: Insan Rekso Adiwibowo

Demokrasi secara tradisional telah ditemui pada masyarakat Sparta di Yunani ribuan tahun yang lalu. Akan tetapi, demokrasi modern yang konsepnya digunkan sampai sekarang dibangun pada abad ke-18 oleh peradaban-peradaban besar Eropa (Franko-Jerman, Anglo-Saxon, dan diikuti turunannya Anglo-Amerika). Walaupun secara teori dirumuskan secara intens oleh pemikir-pemikir Franko-Jerman akan tetapi pengaplikasian yang sangat natural dan terintegrasi secara baik pada waktu itu hanya bisa ditemukan dalam masyarakat Anglo-Amerika. Masyarakat ini, dalam “Dunia Baru” yang penuh tantangan, membangun demokrasi dengan sendirinya dalam struktur yang memasyarakat.

Saya harus menahan diri untuk tidak berbicara panjang lebar mengenai hal ini, dan memilih menyarikan fenomena yang ditangkap oleh Alexis de Tocqueville (1805-1859) dari pelaksanaan demokrasi Amerika yang membuatnya bebeda dengan demokrasi Eropa yaitu, fenomena kesetaraan (equality) yang berkolaborasi dengan kebebasan (freedom).1

Dalam satu hal, menurut Tocqueville, berbeda dengan di Eropa yang aristokrat, posisi individu di Amerika satu dengan lainnya adalah sama. Karena tidak ada lagi yang mampu berkuasa sebagaimana kaum aristokrat di tanah asal mereka, kebutuhan akan kekuasaan negara turut meningkat. Negara, atau pemerintah, yang merupakan representasi dari mayoritas akan menjadi sangat dominan dan dikhawatirkan cenderung menumbuhkan bentuk tirani baru, yaitu tirani mayoritas.

Dalam hal lain, sistem persamaan dalam konteks masyarakat komersial cenderung membuat individu hanya mencari kebahagiaan sesaat, berjuang untuk menampilkan diri sendiri untuk selanjutnya mencari keuntungan bagi dirinya. Masyarakat akan berisi manusia-manusia yang terlalu cepat puas, tanpa keagungan, keberanian dan heroisme, serta tanpa hasrat mencari keagungan bagi negerinya. Yang penting adalah perdamaian, kesejahteraan, dan sebuah situasi di mana anggota-anggota masyarakat dapat bekerja dengan tenang untuk mencari hidup dan kebahagiaan.

Demokrasi, walaupun telah menjadi gejala universal, tetaplah pedang bermata dua. Tetapi bagi Tocqueville, keunikan dan kekuatan demokrasi di Amerika adalah karena di negeri baru itu, sisi negatif dari proses persamaan tersebut dapat dihaluskan oleh tiga faktor: geografi, lembaga politik dan pemerintahan, serta kebudayaan dan adat-istiadat lokal yang berjalan secara harmonis dengan demokrasi.2 Kombinasi ketiga faktor inilah yang tidak bisa dimungkinkan di Eropa yang juga mengalami proses industrialisasi dan komersialisasi.

Kesetaraan dan kebebasan yang dianut penduduk Amerika adalah langkah untuk menjamin perjuangan mereka dalam memenuhi tantangan hidup, dan oleh karenanya mereka lebih tertarik pada hal-hal yang bersifat praktis daripada mencari sesuatu yang abstrak. Momentum ini membentuk ciri khas budaya pragmatisme Amerika yang sejalan dengan demokrasi liberal yang dianutnya.

Pandangan demokrasi kemudian mulai menyebar dan menjadi gejala umum dalam perkembangan selanjutnya diiringi dengan penyebaran paham komunisme yang berkembang pesat di Rusia. Demokrasi menjadi sebuah tatanan yang terus berkali-kali mengalami proses transformasi dan mempunyai wujud yang berbeda-beda untuk masing-masing negara dan masih belum berhenti. Akan tetapi, akankah demokrasi seperti ideologi-ideologi lainnya akan kehilangan zamannya?

***

1 D’Tocqueville, Alexis. Democracy in America (terj. Henry Reeve). 1954. New York: 1954.

2 Akan tetapi kekhawatiran Tocqueville terwujud tidak kurang dua tahun setelah kematiannya dengan meletusnya Perang Saudara di Amerika Serikat. Multikulturalisme yang seharusnya menjadi keharusan dari konsep “kesetaraan” dan “kebebasan” mengalami perbenturan dengan konsep hak milik a la feodalisme yang masih terwariskan.

No comments: