Saturday 6 December 2008

Kekerasan Massa, Federalisasi Hukum, dan Kontrol Pergerakan Massa di Indonesia

Kekerasan Massa, Federalisasi Hukum, dan Kontrol Pergerakan Massa di Indonesia1

Oleh: Insan Rekso Adiwibowo2

Permasalahan kekerasan di Indonesia, sebagian besar bisa dikatakan merupakan lubang kosong yang sengaja diciptakan dalam hukum demi kepentingan politik. “Lubang kosong” ini bisa disebut sebagai pengesahan kekerasan massa oleh rezim berkuasa secara implisit, seperti diskriminasi pada etnis Tionghoa di era Orde Baru.

Dalam perjalanan sejarahnya, bahkan “lubang kosong” ini ditunggangi oleh berbagai kepentingan politik, utamanya pada pemerintahan kolonial dan Orde Baru, walaupun tidak menutup kemungkinan pada periode-periode lainnya terjadi situasi yang tidak kalah pentingnya. Adalah penting untuk mengamati bahwa pluralisme hukum memang menjadi perwujudan kesetengahhatian dalam menegakkan supremasi hukum, akan tetapi di sisi lain, perlukah hukum yang universal bagi ratusan sistem adat Indonesia yang telah berlangsung ratusan tahun?

Mungkin untuk permasalahan ini, kita perlu lebih dari sekedar otonomi. Senada dengan Johan Galtung, saya setuju bahwa federalisme ada baiknya ditetapkan di Indonesia.3 Untuk banyak hal, penerapan otonomi hukum secara federalistik memberikan ruang yang lebih bebas bagi masyarakat daerah untuk mengeksplorasi nilai-nilainya, sekaligus di sisi lain secara sadar atau mau tidak mau mengikuti standar nilai negara sebagai landasannya.

Agaknya yang lebih perlu diuniversalkan bukanlah bagaimana menghukum kekerasan itu, akan tetapi bagaimana mentransformasikan konflik agar tidak berbuah kekerasan. Dengan kondisi pendeknya “tangan hukum” yang bisa diandalkan dewasa ini, penerapan hukum secara federalistik, secara optimis bisa dikatakan, menjadi sarana yang baik untuk menurutsertakan masyarakat dalam penegakan supremasi hukum, karena secara demokratis rakyat daerah menjadi lebih berkekuatan untuk mengontrol masyarakat. Hal itu akan membuat masyarakat mau tidak mau harus dewasa dalam bersikap dan memuluskan transformasi konflik dengan cara-cara damai. Potensi itu ada, tinggal bagaimana struktur membantu proses tersebut.

Akan tetapi, penerapan konsep federalisasi di sini bukan tanpa kritik. Seperti yang dikatakan Tocqueville4 bahwa bagaimanapun, demokrasi tetap seperti pedang bermata dua. Berlebihan di satu sisi dapat membuahkan tirani mayoritas, berlebihan di sisi lain dapat mengakibatkan anarki. Federalisme yang terlalu dini—untuk masyarakat yang belum siap—tetap membuahkan rasa was-was yang beralasan. Pengikutsertaan masyarakat dalam proses, sehingga hukum menjadi bisa dimengerti sebagai bukan hanya hitam di atas putih melainkan membawa sebuah sistem nilai dan norma yang ditegakkan sesuai semangat nilai/norma tersebut walaupun tidak ada tulisan yang mengikatnya, agaknya bisa dijadikan sebagai salah satu hal yang mesti diperhatikan. Pergerakan massa yang masih berjalan dominan di Indonesia mesti diakomodir untuk diarahkan dalam format transformasi konflik yang berbudaya.***



1 Disampaikan sebagai pembahasan artikel dari Robert Cribb, Pluralisme hukum, desentralisasi, dan akar kekerasan di Indonesia. Untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Pendidikan Pancasila dengan Dosen Pengampu, Bpk. Arqom Kuswanjono.

2 Mahasiswa Psikologi UGM, pemerhati politik dan buudaya.

3 Ditulis dalam berbagai artikelnya tentang kekerasan di Indonesia. Lihat http://www.cmdd.org/index.html

4 Alexis de Tocqueville, politisi sekaligus sosiolog terkemuka abad ke-18. Disebut-sebut sebagai ilmuwan demokrasi terbesar pertama.

No comments: